Kualitas di Tengah Kegamangan Dunia Pendidikan

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, menjelang pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun 2009 ini, dunia pendidikan kembali hiruk-pikuk. Sayangnya, hiruk-pikuk persiapan menghadapi UN lebih pada kecemasan yang tiba-tiba menghantui masyarakat pendidikan itu sendiri, mulai dari kalangan siswa, guru-guru, pengelola sekolah hingga orang tua murid. Pasalnya, UN sejauh ini seolah belum dapat diterima sepenuhnya sebagai bagian dari proses pendidikan yang hakiki, namun tidak sedikit yang menyorotinya hanya sebagai kebijakan yang ”coba-coba”. Bayangkan saja, setelah beberapa tahun keberadaannya, standarisasi nilai untuk kelulusan UN masih belum pasti dan setiap tahun berubah besarannya. Secara psikologis, hal ini sangat berpengaruh terhadap siswa. Bukannya para siswa yang tidak siap menghadapi UN, tetapi justru UN-lah yang hadir seolah-olah hantu di dunia pendidikan. Berikut pemikiran Kepala SMP Negeri 1 Negara, I Ketut Budiarsa, S.Pd., yang disuguhkan dalam bentuk wawancara.

Bagaimana pandangan anda terhadap dunia pendidikan saat ini?
Kalau mau jujur, secara pribadi saya menilai bahwa dunia pendidikan kita adalah dunia yang penuh kegamangan. Ini dapat dilihat dari adanya nilai standar kelulusan yang digunakan sebagai ukuran atau indikator utama keberhasilan dunia pendidikan kita. Ini sudah dijadikan dasar untuk menentukan kelulusan.

Artinya?
Sekolah sebagai fasilitator pendidikan seolah tidak dihargai. Karena apa? Kelulusan siswa di suatu sekolah ditentukan oleh Pusat. Kalau bisa, seharusnya sekolah diberikan wewenang penuh untuk menentukan layak tidaknya seorang siswa lulus. Mungkin inilah yang perlu dipertimbangkan.

Jika dilihat dari upaya untuk meningkatkan atau pencerdasan bangsa, apakah anda sepakat dengan nilai standar kelulusan yang selalu meningkat tiap tahunnya?
Pada prinsipnya saya sangat sepakat. Bagi saya, tingginya tingkat kelulusan siswa, apalagi dengan nilai standar kelulusan yang terus meningkat, dapat dijadikan indikator peningkatan kualitas siswa. Di sini memang terkesan sedikit dipaksa. Tapi untuk kemajuan dan membentuk sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, saya rasa tidak masalah.

Tapi kenyataannya, seringkali UN dianggap sebagai ”hantu” oleh siswa, guru, dan juga masyarakat. Komentar anda?
Memang tak dapat dipungkiri jika terjadi kecemasan seperti itu. Dapat dikatakan, meningkatnya nilai standar kelulusan telah menjatuhkan telah berdampak pada sisi kejiwaan siswa. Mereka dihadapkan pada ketakutan tidak lulus ujian. Sebenarnya yang terpenting di sini hanyalah sosialisasi. Artinya, begitu hasil UN tahun sebelumnya keluar, siswa yang akan menghadapi ujian di tahun berikutnya sudah diberikan prediksi mengenai peningkatan nilai standar kelulusan. Jika dari awal sudah diketahui, tentunya siswa dapat mempersiapkan dirinya untuk mencapai nilai standar yang telah ditentukan itu, termasuk mempersiapkan mental mereka.

Caranya?
Kalau untuk membangun mental siswa tentunya peran orang tualah yang paling berperan. Siswa memerlukan pendidikan nurani. Artinya, mereka harus membangun motivasi kepada anak-anak mereka agar tidak terlalu memaksakan ambisi mereka. Untuk di sini (SMP Negeri 1 Negara-red), seluruh orang tua siswa kelas IX akan kami panggil.

Menurut anda, apakah ada perubahan yang signifikan terhadap mutu siswa sebelum dan sesudah diterapkannya kebijakan subsidi pendidikan oleh Pemkab Jembrana?
Pasti ada! Mutu pendidikan dapat diukur dari peningkatan Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan angka drop out (DO). APM dan APK tentunya berbanding terbalik dengan DO. Yang saya tahu, APM dan APK di Jembrana meningkat. Tentunya ini sebuah kemajuan. Peningkatan ini juga dapat dijadikan indikator peningkatan mutu siswa. Semakin banyak orang yang bersekolah, otomatis SDM-SDM di Jembrana makin bermutu. Kuncinya hanya APM, APK dan DO. Ini juga sudah dijadikan standar secara nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar

Daftar Nilai

Buka semua | Tutup semua